Rabu, 18 Maret 2009

mengapa remaja suka menggunakan bahasa gaul

Mengapa Remaja Suka Menggunakan Bahasa Gaul? Sep 29, '07 9:58 AM
by wind for everyone

Dalam berkomunikasi sehari-hari, terutama dengan sesame sebayanya, remaja seringkali menggunakan bahasa spesifik yang kita kenal dengan bahasa ‘gaul’. Disamping bukan merupakan bahasa yang baku, kata-kata dan istilah dari bahasa gaul ini terkadang hanya dimengerti oleh para remaja atau mereka yang kerap menggunakannya.



Menurut Piaaget (dalam Papalia, 2004), remaja memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap formal operasional. Piaget menyatakan bahwa tahapan ini merupakan tahap tertinggi perkembangan kognitif manusia. Pada tahap ini individu mulai mengembangkan kapasitas abstraksinya.



Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosakata remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang lebih kompleks. Menurut Owen (dalam Papalia, 2004) remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metaphor, ironi, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul.



Disamping merupakan bagian dari proses perkembangan kognitif, munculnya penggunaan bahasa gaul juga merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Menurut Erikson (1968), remajamemasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang dominant terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas. Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa gaul ini merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak.



Referensi

Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2004). Human development (9th edition). Boston: McGraw Hill Company, Inc.



Erikson, E. (1968). Childhood and society (2nd edition). New York: W.W. Norton & Company Inc.

mengapa remaja suka menggunakan bahasa gaul

Mengapa Remaja Suka Menggunakan Bahasa Gaul? Sep 29, '07 9:58 AM
by wind for everyone

Dalam berkomunikasi sehari-hari, terutama dengan sesame sebayanya, remaja seringkali menggunakan bahasa spesifik yang kita kenal dengan bahasa ‘gaul’. Disamping bukan merupakan bahasa yang baku, kata-kata dan istilah dari bahasa gaul ini terkadang hanya dimengerti oleh para remaja atau mereka yang kerap menggunakannya.



Menurut Piaaget (dalam Papalia, 2004), remaja memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap formal operasional. Piaget menyatakan bahwa tahapan ini merupakan tahap tertinggi perkembangan kognitif manusia. Pada tahap ini individu mulai mengembangkan kapasitas abstraksinya.



Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosakata remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang lebih kompleks. Menurut Owen (dalam Papalia, 2004) remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metaphor, ironi, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul.



Disamping merupakan bagian dari proses perkembangan kognitif, munculnya penggunaan bahasa gaul juga merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Menurut Erikson (1968), remajamemasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang dominant terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas. Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa gaul ini merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak.



Referensi

Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2004). Human development (9th edition). Boston: McGraw Hill Company, Inc.



Erikson, E. (1968). Childhood and society (2nd edition). New York: W.W. Norton & Company Inc.

Jumat, 12 Desember 2008

Dengar Pendapat dengan Anggota DPR tnatang HIV/AIDS
Di ruang Nusantara 1, Gedung DPR Senayan, jam 2 siang sampai 5:15sore dilakukan acara dengar pendapat umum dengan Komisi VII.Acara yang dimulai dengan presentase Prof. Umar selaku Dirjen tentangKebijakan Penanggulangan Penyakit Menular, terutama masalah TBC danMalaria. Wakil pemerintah tidak menyadari bahwa beberapa orang danLSM diundang untuk membahas masalah penanggulangan HIV/AIDS.Upaya memberikan masukan ke DPR sudah lama dilakukan oleh banyakteman, dengan dibantu oleh teman2 Forum Parlemen disisipkan acaratersebut.Teman yang bicara adalah Pandu dari FKMUI, Chris Green dari Spiritiadan ODHA dari Jakarta dan Papua, serta Joice dari Yayasan KIta danseorang anak muda odha, mantan pencandu.Pandu mengungkapkan betapa potensial ancaman HIV, adanya jalur tolpenularan lintas kelompok berisiko serta epidemi di papua yang perlumendapat perhatian serius. Angka dan presiksi yang diaungkapkanmenjadi lebih hidup setelah dua odha membicarakan nasibnya yangmengalami diskriminasi dan stigmatisasi. Babe Chris mengungkapkanmasalah gerakan akses obat anti retroviral. Ditambah dengan betapamasalah Napza suntik dari Joice, masih tidak sepenuhnya ditanganiterutama masalah penularan HIV dan hepatitis C. Pengungakapan dariteman2, ditutup dengan kisah nyata dari anak muda lelaki berusia 17tahun yang mantan pencandu dengan HIV dan hepatitis C.Ini untuk pertama kalinya, sidang komisi VII dihadapkan problema yangnyata, termasuk teman2 dari P2M/PLP DepKes. Pertemuan tersebutdiharapkan dapat membuka mata dan hati semua yang bertanggung jawabterhadap masalah penanggulangan HIV. Ada diskusi yang cukup hangatwalaupun masih banyak kesalah-fahaman.Akhir minggu ini akan dilanjutkan dengan diskusi intensif untukmembicarakan masukan yang lebih nyata, agar para anggota dewan YTHdapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penanggulanganHIV secara nasional.Paling tidak ada suara Dewan yang mendorong agar pemerintah memimpin upaya penanggulangan.
sumber: Aids-ina

"edukasi"

Memetakan Kegiatan Life Skills Education (LSE) di Indonesia
oleh. Prof. Dr. Charles Surjadi, MPH
Menurut WHO, Life Skill adalah kemampuan perilaku positif dan adaptif yang mendukung seseorang untuk secara efektif mengatasi tuntutan dan tantangan, selama hidupnya.
Dalam UU Pendidikan Nasional No. 20/2003 pasal 26 ayat 3 disebutkan bahwa LSE digolongkan sebagai pendidikan non formal, yang memberikan keterampilan personal, sosial, intelektual/akademis dan vokasional untuk bekerja secara mandiri.
UNICEF mendefinisikan Life Skill sebagai sesuatu yang lebih detail lagi dengan menggunakan tambahan based education. Life Skill-based Education adalah pendekatan pengembangan perilaku atau perubahan perilaku antara pengetahuan, sikap dan keterampilan. Keterampilan yang dimaksud menurut WHO, terdiri dari :
ü Keterampilan memecahkan masalah
ü Keterampilan berpikir kritis
ü Keterampilan mengambil keputusan
ü Keterampilan berpikir kreatif
ü Keterampilan berhubungan interpersonal
ü Keterampilan bernegosiasi
ü Keterampilan mengembangkan kesadaran diri
ü Keterampilan berempati
ü Keterampilan mengatasi stress dan emosi
Jika keterampilan - keterampilan tersebut di atas telah dilatih sejak dini, maka semua permasalahan yang ada saat ini seperti penyalahgunaan narkoba, seks bebas hingga HIV/AIDS, diharapkan dapat ditemukan jalan keluarnya.
Oleh karena itu dilakukanlah suatu kegiatan pemetaan yang bertujuan untuk :
ü Melakukan kajian kritis atas kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan LSE
ü Menganalisis tujuan, program dan kegiatan yang berkaitan dengan LSE
ü Mengidentifikasi, mengkaji, dan menganalisis pelaku dan institusi yang melakukan kegiatan LSE
ü Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat
ü Memberikan rekomendasi kemungkinan peran dan aksi yang dapat dilakukan
Kegiatan pemetaan LSE tersebut dilakukan dengan me-review dokumen dan materi yang didapat dari lembaga-lembaga yang telah dihubungi berkaitan dengan pengumpulan bahan, kebijakan dan pelaksanaan; serta mewawancarai informan-informan kunci pada tingkat nasional mengenai pengalaman, target dan kegiatan yang telah mereka lakukan, termasuk tempat pelaksanaan dan mitra kerjanya.
Adapun hasil kegiatan ini adalah :
· Tidak ditemukan adanya dokumen kebijakan yang berkaitan dengan LSE for Healthy Living (Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat/PKHS), yang ada berupa kebijakan yang terkait dengan Broad Based Education of Life Skill (Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup melalui Pendekatan Berbasis Luas)
· Ada kebijakan yang terkait dengan pencegahan HIV/AIDS melalui pendidikan
· Pada strategi nasional HIV/AIDS 2003-2007, LSE for HIV/AIDS tidak ditemukan
Dari hasil pemetaan tersebut dibuatlah rekomendasi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, sebagai berikut :
· Rekomendasi Jangka Pendek :
1. Membuat studi kasus keberhasilan penerapan LSE, yang juga menjelaskan tentang konsep LSE. Dengan demikian hasilnya dapt digunakan sebagai alat untuk mengembangkan networking (jejaring) antar wakil sekolah, guru dan para ahli yang tertarik pada penerapan LSE.
2. Mengembangkan jejaring dan saluran komunikasi sehingga dapat memfasilitasi hubungan antar guru, sekolah dan kepala sekolah yang melaksanakan LSE.
· Rekomendasi Jangka Menengah :
1. Advokasi pada KPA agar memasukkan rencana penerapan LSE for HIV/AIDS sebagai bagian dari program nasional.
2. Advokasi pada rektorat pendidikan dasar dan menengah agar menindaklanjuti SK Mendiknas dalam kaitan pencegahan HIV/AIDS di lembaga pendidikan dan memasukkan kebutuhan dan pentingnya penerapan LSE for healthy living atau HIV/AIDS Prevention dan panduan pelaksanaannya di tingkat kabupaten/kota.
3. Mengkoordinasi kaitan antara pelbagai pendekatan LSE agar terjadi sinergi dan menghindari terjadinya duplikasi.
4. Melakukan workshop dan pertemuan agar LSE for Healthy Living dapat menjadi salah satu bagian/keterampilan dari Broad-Based Education for Life Skill.
· Rekomendasi Jangka Panjang :
1. Advokasi penerapan LSE for Healthy Living atau HIV/AIDS pada sekolah khusus seperti sekolah perawat dan sekolah keterampilan/kejuruan misalnya STM.
2. Advokasi agar LSE for Healthy Living menjadi salah satu topik pembelajaran dan penelitian di fakultas kedokteran, fakultas pendidikan dan fakultas psikologi.
Laporan dari Pertemuan Forum Kesehatan Reproduksi DKI Jakarta IV, 21 September 2004, Gd. TIFA Lt. 5 Jakarta Selatan oleh Maria Zulfah

"informasi buat kamoe"

Hubungan Seks Usia Muda Berisiko KankerHubungan atau kontak seksual pada usia di bawah 17 tahun merangsang tumbuhnya sel kanker pada alat kandungan perempuan, karena pada rentang usia 12 hingga 17 tahun, perubahan sel dalam mulut rahim sedang aktif sekali. Demikian diungkapkan seorang ahli kebidanan."Saat sel sedang membelah secara aktif (metaplasi) idealnya tidak terjadi kontaks atau rangsangan apa pun dari luar, termasuk injus (masuknya) benda asing dalam tubuh perempuan," kata dr Teti Ernawati dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta, Kamis.Menurut dia, adanya benda asing, termasuk alat kelamin laki-laki dan sel sperma, akan mengakibatkan perkembangan sel ke arah abnormal. Apalagi kalau sampai terjadi luka yang mengakibatkan infeksi dalam rahim.Sel abnormal dalam mulut rahim itu dapat mengakibatkan kanker mulut rahim (serviks). Kanker serviks menyerang alat kandungan perempuan, berawal dari mulut rahim dan berisiko menyebar ke vagina hingga keluar di permukaan, katanya.Selain itu, kanker serviks juga berisiko menyebar ke organ lain di dalam tubuh, misalnya uterus, ovarium, tuba fallopi, ginjal, paru-paru, lever, tulang hingga otak, katanya."Jika telah mencapai stadium lanjut dan menyebar ke organ tubuh lain, maka kanker serviks dapat mengakibatkan kematian," ujarnya."Penderita stadium lanjut umumnya harus mengangkat organ alat kandungan dan kemungkinan mempunyai anak menjadi tidak mungkin," katanya.Di dunia, terdapat sekitar 100 jenis strain virus penyebab kanker serviks, yaitu virus HPV (Human Papilloma Virus). Dan strain terganas adalah tipe 16 dan 18.Gejala yang sering muncul pada penderita biasanya timbulnya keputihan yang berbau dan berulang-ulang serta terjadi pendarahan di bagian kemaluan saat tidak sedang haid.Karena itu, Teti menganjurkan bagi perempuan untuk menikah setelah berusia 17 tahun lebih dan menerapkan perilaku seksual yang sehat."Hindari seks bebas dan gonta-ganti pasangan," katanya.Selain itu, perlu dilakukan deteksi dini untuk mencegah terjadinya kanker serviks stadium lanjut, salah satunya dengan melakukan tes pap (pap smear). [TMA, Ant]
Peer Pressure Vs Peer Motivation
Oleh: Heri Susanto PKBI DKI Jakarta
Suka atau enggak, begitu banyak persoalan yang kita hadapi sebagai remaja. Mulai dari masalah yang paling umum, sederhana, tapi juga sekaligus ”rumit”, yaitu seputar kisah asmara, sampai masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar kita.
Secara sadar, tentu kita enggak pernah menginginkannya. Namun kenyataannya sh*t happens. Ada aja kejadian yang menggiring kita ke arah sana. Alasannya macam-macam. Misalnya, dengan tujuan untuk menunjukkan solidaritas antarteman, mendapatkan pengakuan dari kelompok, atau untuk menunjukkan identitas diri. Bisa juga untuk menunjukkan kemandirian, meminta pembuktian cinta, dan lain sebagainya. The problem is, banyak yang mengambil pilihan solusi yang salah.
Ujung-ujungnya malah jadi dianggap melakukan ”kenakalan-kenakalan”. Kayak tawuran, nge-drugs, malak, bolos sekolah, kekerasan dalam pacaran, pemerkosaan terhadap teman atau bahkan pacar, bersikap konfrontatif terhadap orangtua, dan lain-lain.
Memang banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu.
Masalahnya, apa yang dibilang para ahli itu justru menggiring sebagian kita pada pemahaman bahwa keadaan atau perilaku tersebut adalah sebuah kewajaran baru. Yang akan tetap lestari dari generasi ke generasi. Waduh! Ngeri dong?
”Peer pressure”
Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang kita alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.
Demi geng ini kita sering kali dengan rela hati mau melakukan dan mengorbankan apa pun hanya karena sebuah kata-kata ”sakti”, yaitu solidaritas. Luar biasa memang jika geng ini memiliki arah kemudi yang tepat sehingga bisa menjadi wadah positif bagi kita. Tapi yang menjadi persoalan adalah terkadang solidaritas di antara kita itu bersifat semu, buta, dan destruktif, yang malah mencederai makna solidaritas itu sendiri.
Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.
Secara individual, awalnya kita mungkin merasa enggak nyaman melakukan ”tantangan” itu. Tapi karena ada peer pressure, plus rasa ketidakberdayaan untuk meninggalkan kelompok, serta ketidakmampuan untuk mengatakan ”tidak”, akhirnya apa pun yang dikehendaki kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama-kelamaan menjadi kebiasaan dan akhirnya melekat menjadi sebuah karakter yang diwujudkan dalam berbagai macam perilaku negatif.
Peer pressure tidak hanya bisa diperoleh dari kelompok, tapi bisa juga dari individu, walaupun biasanya tekanan dari individu tidak lebih berat dari tekanan kelompok. Dari individu maupun kelompok, peer pressure dapat berpengaruh buruk dalam kehidupan kita, bisa dalam bentuk perubahan perilaku negatif atau pengaruh psikologis seperti rasa takut, sedih, minder, dan cemas, yang tentunya akan memengaruhi pencitraan orang lain terhadap kita.
”Peer motivation”
Hidup adalah sebuah pilihan. Jika kita mau melihat ke berbagai sisi dalam menjalani berbagai pernak-pernik kehidupan kita, kita akan selalu menemukan alternatif untuk segala hal, termasuk mau diarahkan ke mana pola pergaulan kita.
Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup kita. Jika kita berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan ”energi negatif” seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup kita menjadi negatif. Sebaliknya, jika kita berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan ”energi positif”, yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, kita juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.
Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang kita lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata ”kenakalan remaja” yang dialamatkan kepada kita. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Kita juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa bikin kita stres.
Budaya dalam geng tentunya tidak dapat diubah dengan sim salabim abra kadabra. Perlu komitmen yang besar dari masing-masing individu yang terlibat dalam kelompok tersebut. Semua berawal dari niat yang baik untuk selalu menjadi lebih baik. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memulai.
Pertama, berpikir positif. Segala bentuk sikap dan perilaku kita adalah perwujudan dari apa yang kita pikirkan. Jadi, dengan kata lain, perlakuan kita terhadap orang lain bergantung pada penilaian kita terhadap orang tersebut. Jika kita memiliki penilaian yang positif terhadap seseorang di antara sekian anggota geng yang lain, kita akan cenderung bersikap baik terhadap orang tersebut dan cenderung menolerir setiap kesalahan yang diperbuatnya. Begitu pula sebaliknya kita akan banyak melihat banyak kesalahan pada orang yang tidak kita sukai.
Nah, kalau kondisinya sudah seperti ini, biasanya akan ada ”tumbal” yang selalu jadi korban dalam sebuah geng, yaitu orang yang paling dipandang negatif. Di samping itu, cara pandang yang positif terhadap masing-masing anggota kelompok juga penting. Prinsipnya dianggap orang baik adalah kebutuhan semua orang. Jika kebutuhan itu terpenuhi, maka akan dapat meningkatkan citra diri yang positif masing-masing individu, dan itu akan berdampak pada perilaku yang positif pula.
Kedua, tentukan tujuan. Untuk apa geng itu dibentuk harus benar-benar memiliki tujuan jelas sehingga energi kita tersalurkan pada hal-hal yang terarah dan tidak terbuang sia-sia. Masing-masing anggota akan tahu apa yang harus dilakukan dan tentunya akan lebih produktif. Sebagai analogi, sebuah coretan tembok yang memiliki tujuan dan konsep yang jelas justru akan dapat memperindah suasana kota. Bahkan terkadang memiliki pesan-pesan yang bermakna. Sebaliknya, coretan-coretan yang asal-asalan justru akan menimbulkan kesan kumuh dan tentunya tidak indah. Pekerjaan yang sama akan memberikan hasil yang berbeda hanya karena tujuannya berbeda. Begitu pula dengan kelompok. So..., apa tujuan kita nge-geng?
Ketiga, dukungan kelompok. Masing-masing anggota kelompok harus bisa memberikan dukungan yang positif terhadap anggotanya, bukan malah saling memojokkan. Berikan semangat bagi yang melakukan kegagalan agar bisa memperbaiki, karena kegagalan adalah separuh perjalanan menuju sukses, dan berikan apresiasi yang tulus kepada yang berhasil memperbaiki dan melakukan kebaikan, sekecil apa pun prestasinya.
Seandainya selama ini kita selalu memberikan dukungan kepada teman kita kepada hal-hal yang lebih negatif dan kita selalu menganggapnya hebat jika teman kita mampu menyelesaikan hal ”konyol” dan ”bodoh”, kita harus berubah. Dukungan positif tidak hanya bermanfaat untuk orang lain, tapi juga mampu memberikan semangat kepada diri kita karena kita juga akan merasa terpacu. Di samping itu, dukungan positif juga penting untuk menjaga agar geng tetap terus bergerak secara energik dalam mencapai tujuan.
Sumber: Harian Kompas, Jumat, 07 April 2006
'ED' Juga Ancam Kaum Muda
Biasanya jika seseorang mengalami masalah dengan 'disfungsi ereksi' maka dipastikan orang tersebut sudah berusia lanjut. Dr. Najah Senno Musacchio membuktikan hal yang sebaliknya dimana peneliti dari `Children's Memorial Hospital` dan `Northwestern University's Feinberg School of Medicine` Chicago ini mengingatkan bahwa 'ED' juga bisa mengancam kaum muda.Studi yang dilakukan oleh Dr Najah Senno juga mencatat bahwa para pemuda di tingkat sekolah atas dan universitas sudah terbiasa menggunakan obat perkasa Viagra yang dicampur dengan alkohol ataupun obat terlaranga lainya yang membuat penularan penyakit seks juga semakin mengkuatirkan.Dr Senni melakukan penelitian atas 234 pemuda berusia 18 hingga 25 tahun yang melakukan sex secara aktif saat mereka berada di tahun ketiga di Chicago universities.Hasil penelitian menyebut 13 persen pemuda itu mengaku sudah terbiasa menggunakan obat kuat penghilang 'ED' namun tidak pernah mendiskusikan tindakan mereka kepada dokter.Disfungsi Ereksi (ED) atau impotensi merupakan sebuah kondisi dimana para pria sulit melakukan atau menjaga ereksi saat berhubungan sex.Hasil studi Dr Senno ini dipaparkan daam pertemuan `the Pediatric Academic Societies annual meeting` yang berlangsung di San Francisco, Sabtu (29/4) akhir pekan silam."Kami bertanya kepada para pemuda mengenai disfungsi ereksi dan penggunaan kondom,' jelas Dr Senno.'25 persen dari mereka mengaku kehilangan ereksi saat menggunakan kondom.'Penggunaan kondom yang semakin tinggi membuat tim peneliti mengkuatirkan terjadinya penyebaran penyakit sex.6 persen dari responden mengatakn mereka menggunakan terapi untuk mengatasi ED, 57 persn mengatakan menggunakan obat-obatan, dan 29 persen menggunakan obat-obatan itu untuk meningkatkan kinerja sex.Penelitian sebelumnya menyebut bawha sekitar 5 persen pria berusia diatas 40 tahun mengalami ED dan sekitar 25 persen pria diatas 65 tahun mengalami hal yang sama.Sejumlah kondisi seperti penyakit diabetes, penyakit ginjal, jantung dan pengguna alkohol kronis merupakan penyebab utama dari ED.Merokok juga disebuat-sebut merupakan salah satu faktor terjadinya ED.Beberapa tahun silam, perusahaan asal AS Pfizers meluncurkan obat perkasa Viagara yang laku keas sehingga obat semacam ini juga marak dengan sejumlah produk lain seperti Levitra ataupun Cialis.
sumber: JakNews.com